Menguak Kontroversi di Balik Judul Film Pembantaian Dukun Santet: Sensitivitas, Sejarah, dan Citra Daerah

Erni Rahmawati - Kamis, 08 Mei 2025 - 03:37 WIB
Menguak Kontroversi di Balik Judul Film Pembantaian Dukun Santet: Sensitivitas, Sejarah, dan Citra Daerah
Film Pembantaian Dukun Santet - Instagram/pembantaiandukunsantet
Advertisements

NEWSFEED.CO.ID - Film Pembantaian Dukun Santet menjadi perbincangan hangat di kalangan pecinta horor dan masyarakat luas.

Bukan hanya karena tema filmnya yang mencekam dan diangkat dari kisah nyata, tetapi juga karena kontroversi yang mengiringi penggantian judul film tersebut.

Sebelumnya, film ini berjudul Lemah Santet Banyuwangi, namun menuai protes keras dari masyarakat dan pemerintah daerah Banyuwangi.

Alasan utamanya adalah penggunaan nama daerah yang dianggap dapat mencemarkan citra positif Banyuwangi sebagai kota pariwisata dan budaya.

Akhirnya, rumah produksi memutuskan untuk mengganti judulnya menjadi Pembantaian Dukun Santet.

Perubahan ini menandai pentingnya sensitivitas terhadap identitas daerah dalam karya sinema.

Judul Awal yang Memicu Kontroversi

Judul awal film ini, Lemah Santet Banyuwangi, langsung menarik perhatian publik.

"Lemah" dalam bahasa Jawa berarti "tanah" atau "tempat", dan dikaitkan dengan kata "santet" yang memiliki konotasi negatif.

Ketika digabungkan dengan nama "Banyuwangi", muncul kekhawatiran bahwa film ini akan memperkuat stigma negatif terhadap daerah tersebut.

Padahal, Banyuwangi saat ini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia yang mengusung nilai-nilai budaya, ekowisata, dan kearifan lokal.

Pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pun menyatakan tidak pernah menerima permohonan izin atau koordinasi terkait produksi film tersebut.

Reaksi Pemerintah dan Masyarakat Banyuwangi

Pemerintah Banyuwangi secara tegas menyatakan keberatannya atas penggunaan nama daerah dalam judul film horor tersebut.

Menurut mereka, mengaitkan Banyuwangi dengan istilah “santet” dan “pembantaian” dapat membangkitkan kembali luka lama dan memberi dampak negatif terhadap citra daerah.

Masyarakat juga turut menyuarakan kekecewaan mereka, terutama keluarga korban dan penduduk yang tinggal di wilayah terdampak peristiwa 1998.

Mereka menilai bahwa kisah kelam itu seharusnya tidak dijadikan bahan eksploitasi untuk hiburan, apalagi jika tidak melalui pendekatan yang etis dan berimbang.

HALAMAN:
Advertisements
Share:
Editor: Erni Rahmawati
Source:

BACA JUGA

Advertisements

BERITA POPULER

  1. #1
  1. #2
  1. #3
  1. #4
  1. #5
Advertisements

BERITA TERBARU

Advertisements

BERITA PILIHAN

Advertisements

VIDEO TERBARU

Advertisements
Advertisements
© 2024 Newsfeed.co.id. All Right Reserved.