NEWSFEED.CO.ID - Merujuk UU 10/2016 tentang pilkada, partai bisa mengusung pasangan calon kepala daerah jika memiliki minimal 20% kursi DPRD atau mendapatkan setidaknya 25% suara sah pada pemilihan anggota DPRD sebelumnya.
Meskipun ada regulasi tersebut mestinya partai tak cendurung hanya diam dan tak mampu menghadirkan perlawanan terhadap sosok-sosok tertentu yang mencerminkan perpanjangan tangan kekuasaan tertentu bukan malah mendorong bergabung ke koalisi gemuk yang di duga sebagai sinyal lawan Kotak Kosong.
Pengamat politik senior Lampung, sambastian menyoroti fenomena kotak kosong di Pilkada 2024
Demokrasi lokal lewat Pilkada hanya bersifat prosedural, yang dalam prakteknya juga cacat dan mengalami distorsi dengan semakin maraknya pasangan calon tunggal dalam perhelatan pilkada.
Fenomena munculnya calon tunggal tersebut tentu saja menunjukkan sikap pragmatisme partai partai politik. Demi meraih kemenangan, mereka tidak mau mengusung kandidat yang elektabilitasnya kecil meski ia memiliki integritas dan kapasitas.
"Melainkan mereka bersama-sama mengusung pasangan calon tunggal yg secara finansial kuat, meski cacat integritas dan kurang memiliki kapasitas," ujar Sambastian.
BACA JUGA: Sinopsis Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah, Ternyata Menceritakan Tentang Hal Pilu
Lebih dari itu, dengan mengajukan pasangan calon tunggal sesungguhnya menunjukkan bahwa partai-partai politik telah gagal melakukan kaderisasi dalam mencetak pemimpin-pemimpin di daerah.
Jika kita kaitkan dengan prinsip dasar demokrasi dan pemilihan umum itu sendiri, fenomena munculnya calon tunggal dalam Pilkada langsung tentu sangat mencederai dan kontradiktif. Hakekat dari demokrasi dan pemilihan umum adalah partisipasi dan kontestasi.
"Namun dengan adanya calon tunggal maka dua prinsip dasar tersebut tidak berjalan. Partisipasi hanya berjalan searah, hanya diarahkan untuk memilih calon tunggal," kata dia.
Regulasi yang ada hanya mengatur bagi calon tunggal dan tidak ada regulasi untuk Kolom Kosong sehigga tidak sederajat.
Begitu juga dengan kontestasi, tidak ada persaingan, tidak ada pertarungan gagasan, visi, misi, dan program. Ujar Sambastian
Kampanye dan debat publik bersifat monoton karena hanya calon tungal saja yang melaksanakannya, begitu juga dengan bentuk-bentuk kampanye lainya hanya untuk pasangan calon tungal.
Demokrasi terasa hambar dan semu belaka, karena pemilihan tidak kompetitif. Sebab, hampir bisa dipastikan calon tunggal bakal keluar sebagai pemenang, tanpa harus “jerih-payah” dan “mengeluarkan keringat” dalam kampanye mati-matian
Namun demikian, lebih dari sekadar demokrasi yang menjadi hambar dan semu, keberadaan calon tunggal merupakan sebuah “tamparan” bagi partai politik yang tidak mampu menghadirkan kadernya dalam kontestasi seleksi kepemimpinan melalui Pilkada
Dan pandangan terhadap peran masyarakat di awal pemilihan nampak nya semakin apatis dan tidak peduli terhadap pemilihan pada saat melawan Kotak Kosong, dan ending nya apabila calon terpilih tidak bisa mengemban amanah yg telah di berikan oleh rakyat disitulah masyarakat mulai merasa kekecewaan dan mulai menyalahkan calon yg sudah terpilih tersebut. (*)